Dalam sejarah, Sayyida al-Hurra adalah seorang bajak laut wanita terkenal yang hidup antara abad ke 15 dan 16. Namanya terkenal di wilayah barat Mediterania karena sering menargetkan kapal-kapal pedagang Portugis dan Spanyol. Dia juga aliansi Barbarossa, bajak laut ternama di Eropa yang juga seorang muslim. Selain menjadi bajak laut, wanita muslim ini juga menjabat sebagai gubernur Tetouan yang akhirnya menikah dengan Sultan Maroko.
Keberanian Sayyida al-Hurra membuat dirinya dibenci musuh-musuh Islam di Eropa. Kekuasaannya hancur bukan karena serangan dari luar, melainkan kerusuhan diwilayah kekuasannya yang digulingkan oleh menantunya sendiri.
Nama besar bajak laut wanita ini tidak begitu dikenal sebagian besar kaum muslim. Tetapi justru namanya tertulis dalam catatan Kristen di Portugis dan Spanyol. Sumber-sumber catatan ini menyebut Sayyida al-Hurra yang diterjemahkan menjadi wanita berdaulat (Sovereign Lady). Sehingga nama aslinya menghilang dari dari sejarah dan diasumsikan sosok itu adalah Aisha. Nama sebenarnya adalah Lalla Aicha binti Ali ibn Rashid al-Alami.
Sayyida al-Hurra, Bajak Laut Wanita
Sayyida al-Hurra lahir sekitar tahun 1485 di Granada, negara Muslim terakhir di Semenanjung Iberia. Ayahnya adalah Abu al-Hassan Ali ibn Moussa ibn Rashid al-Alami yang mendirikan kota Chefchaouen, Maroko. Ibunya adalah Zohra Fernandez, seorang Kristen yang masuk Islam. Keluarganya merupakan bangsawan yang dikenal sebagai Rashid, keturunan Nabi Muhammad dari Ali dan Fatimah. Mereka mendirikan Dinasti Idrisid di Maroko selama akhir abad ke-8.
Ketika Granada jatuh ke pasukan Reconquista tahun 1492, banyak Muslim melarikan diri ke selatan ke Afrika Utara. Termasuk keluarga Sayyida al-Hurra. Granada jatuh ke tangan Raja Katolik, Isabella I Castile dan Ferdinand II dari Aragon. Isabella dan Ferdinand dikenal karena mampu menyelesaikan Reconquista, mereka mengasingkan Muslim untuk mendukung dan membiayai perjalanan Christopher Columbus 1492 yang mengarah pada pembukaan Dunia Baru. Mereka membentuk Spanyol sebagai kekuatan global pertama yang mendominasi Eropa dan sebagian besar dunia selama lebih dari satu abad.
Sebagai anak seorang bangsawan, Sayyida al-Hurra diberi pendidikan dan dibimbing memahami pelajaran matematika, agama dan bahasa. Kemudian diusia sekitar 16 hingga 25 tahun, Sayyida al-Hurra menikahi Abu Hassan al-Mandari yang 30 tahun lebih tua darinya. Al-Mandari juga pengungsi yang melarikan diri ke Spanyol, menetap di Tetouan dan menjadi gubernur disana sekitar tahun 1515 hingga 1519. Setelah suaminya wafat, dia menggantikan posisi menjadi gubernur Tetouan. Pada tahun 1515, Sayyida merupakan orang terakhir dalam sejarah Islam yang secara sah memegang gelar al-Hurra atau Ratu.
Bagaimana awal kisah Sayyida al-Hurra menjadi bajak laut? Sejarah menceritakan bahwa Sayyida al-Hurra tidak pernah melupakan jatuhnya Granada. Dia bersumpah untuk membalas kekalahan melawan Eropa. Sayyida berencana merebut kembali Andalusia dari orang-orang Kristen. Meskipun waktu itu dia tidak bisa menghadapi Spanyol dan Portugis secara langsung. Tetapi dia mampu membuat kekacauan perdagangan laut dengan cara pembajakan.
Al-Hurra membentuk aliansi dengan bajak laut terkenal Oruç Reis, atau bajak laut Barbarossa yang ternama di Eropa. Sosok ini juga dikenal dikenal sebagai Red Beard yang meneror bagian timur Mediterania. Dia juga dikenal sebagai saudara laki-laki dari Hayreddin Barbarossa. Sayyida al-Hurra membajak diwilayah barat yang menargetkan kapal dagang Portugis dan Spanyol. Kru kapal-kapal dagang diserbu dan ditawan, Portugis dan Spanyol dipaksa untuk bernegosiasi dengan Sayyida al-Hurra. Kemudian mereka terpaksa membayar tebusan dengan jumlah yang besar kepada al-Hurra.
Kekayaan Sayyida al-Hurra dan kekuatannya membuat dirinya diperhitungkan di Afrika Utara. Sultan Maroko, Ahmed al-Wattasi, menyadari situasi dan mengusulkan untuk menikahi janda ini, mereka membentuk aliansi. Sayyida al-Hurra setuju, dengan syarat bahwa sultan berangkat ke Tetouan untuk menikahinya. Syarat ini belum pernah terjadi sebelumnya, karena di zaman itu, wanita yang harus pergi ke kota calon suaminya untuk menikah. Setelah menikah, keduanya tinggal di ibukota masing-masing, pernikahan ini murni untuk tujuan politik.
Pada tahun 1542, Maroko berperang dengan Portugal. Situasi negara mulai kacau. Ahmed al-Hassan al-Mandari, menantu Sayyida al-Hurra sekaligus kerabat dari suami pertamanya, membentuk aliansi dengan musuh-musuh Ahmed al-Wattasi. Mereka berhasil menggulingkan pasukannya. Sejak saat itu, Sayyida al-Hurra menghilang dari sejarah. Menurut cerita yang beredar, dia kembali ke Chefchaouen dan meninggal di sana 20 tahun kemudian.
Reference
- The Forgotten Queens of Islam. By Mernissi, Fatima (1997) Univ Of Minnesota Press, 11 February 2011.